Masa Depan Sekolah: Dua Jam AI, Lalu Apa?

22

Kehebohan seputar Alpha School—lembaga berbasis biaya pendidikan yang menjanjikan “dua jam hari sekolah AI”—menjadi booming baru-baru ini, dan ditampilkan dalam publikasi seperti The New York Times. Ide intinya ambisius: memanfaatkan AI untuk memberikan pembelajaran yang dipersonalisasi dan berbasis penguasaan yang dapat mengurangi waktu kelas secara signifikan sekaligus meningkatkan hasil siswa. Namun di balik kehebohan tersebut, muncul pertanyaan penting: apa yang dilakukan siswa sepanjang hari mereka?

Janji pendidikan berbasis AI bukan hanya soal efisiensi; ini tentang mengubah cara siswa belajar secara mendasar. Hasil awal Alpha School sangat mencengangkan. Siswa K-2 mendapat nilai 0,1% teratas secara nasional, sementara siswa K-8 mendapat nilai 1% teratas. Bahkan siswa kelas sebelas mendapat nilai rata-rata 1535 pada SAT, sedangkan siswa kelas sembilan mendapat nilai 1410. Angka-angka ini menunjukkan bahwa jika AI dapat meniru efektivitas bimbingan belajar tatap muka, kinerja siswa dapat memperoleh peningkatan yang signifikan.

Mesin di Balik Hasil: Trilogi dan Pembelajaran Adaptif

Kunci dari pendekatan Alpha adalah sebuah perusahaan bernama Trilogy, yang mengintegrasikan alat pembelajaran adaptif yang ada (Aleks, IXL, Grammarly, dll.) dengan perangkat lunak miliknya sendiri. Incept, mesin rekomendasi Trilogy, menganalisis kinerja siswa di seluruh alat ini untuk mengoptimalkan jalur pembelajaran. Timeback, alat utama kedua, menggunakan rekaman visual langsung untuk mengukur dan meningkatkan perhatian siswa, yang pada dasarnya mereplikasi pengalaman tutor 1:1. Tingkat adaptasi ini belum pernah terjadi sebelumnya, meskipun kemungkinan besar akan menghadapi tantangan hukum seiring dengan terus berlanjutnya tuntutan hukum pengawasan AI.

Prinsip dasarnya sederhana: jika AI dapat memberikan pengajaran yang dipersonalisasi dan efektif dalam waktu singkat, siswa akan memiliki lebih banyak kebebasan untuk mendapatkan pengalaman di dunia nyata. Ini bukan hanya tentang peningkatan akademis; ini tentang membentuk kembali pendidikan seputar pembangunan manusia.

Melampaui Blok Dua Jam: Bangkitnya Pembelajaran Berdasarkan Pengalaman

Peluang sebenarnya terletak pada bagaimana siswa mengisi waktu yang tersisa. Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa pembelajaran berkualitas tinggi tumbuh subur di masyarakat, melalui pengalaman langsung, dan dengan menghubungkan pendidikan dengan tujuan dunia nyata. Pembelajaran pengabdian, keterlibatan masyarakat, pelatihan berbasis kerja, seni, olahraga—pengalaman-pengalaman ini menumbuhkan keterampilan penting, modal sosial, dan rasa tanggung jawab.

Tujuannya adalah untuk menerjemahkan pengalaman ini menjadi kompetensi yang dapat diverifikasi dan diakui oleh sekolah dan perusahaan. Hal ini memerlukan perubahan pola pikir:

  • Tujuan dibandingkan pengujian: Pengalaman harus didorong oleh dampak dunia nyata, bukan hanya nilai ujian.
  • Desain yang dipimpin siswa: Siswa harus memiliki hak pilihan dalam membentuk pendidikan mereka sendiri.
  • Koneksi dunia nyata: Pembelajaran harus relevan dengan kehidupan siswa dan komunitas.

Ronald Dahl, dalam wawancara Getting Smart Podcast baru-baru ini, menekankan bahwa “menciptakan peluang bagi generasi muda untuk membuat perbedaan… dan membuat perbedaan tersebut diakui” sangat penting untuk pertumbuhan. Ia mencatat pentingnya menyeimbangkan persaingan dengan kerja sama, dan menekankan bahwa lingkungan yang paling efektif menawarkan beragam peluang untuk berkontribusi, bukannya permainan akademis yang tidak menguntungkan.

Hambatan Masih Ada: Tantangan Sistemik terhadap Pembelajaran Berdasarkan Pengalaman

Meskipun ada janji, hambatan besar masih menghadang. Sistem K-12 tradisional tidak dirancang untuk pembelajaran berdasarkan pengalaman yang kaya, dan batasan mata pelajaran tetap kaku. Para pendidik kurang mendapatkan pelatihan mengenai pendekatan yang berpusat pada siswa, dan masyarakat belum siap untuk mengakomodasi pengalaman semacam ini.

Namun tantangan terbesarnya adalah pengukuran. Sebagaimana dinyatakan dalam Hukum Goodhart, “Ketika suatu ukuran menjadi suatu target, maka itu tidak lagi menjadi ukuran yang baik.” Pendidikan saat ini memprioritaskan hal-hal yang mudah diukur (waktu duduk, nilai ujian), sehingga sulit untuk menilai nilai dari pengalaman yang dipersonalisasi dan muncul.

Jalan ke Depan: Mengukur Hal yang Penting

Untuk memaksimalkan potensi pendidikan berbasis AI, kita memerlukan cara baru untuk mengukur keterampilan dan kompetensi. Penilaian Keterampilan yang Tahan Lama, Validasi Keterampilan, dan kerangka kerja baru lainnya bertujuan untuk menangkap kemampuan dengan ketelitian yang lebih tinggi. Namun perubahan ini memerlukan koordinasi, pengujian jangka panjang, dan perubahan mendasar dalam cara kita mendefinisikan penguasaan.

Alpha School menawarkan sekilas tentang apa yang mungkin terjadi: pembelajaran berbasis AI yang terdokumentasi dengan baik dalam waktu dua jam. Namun jika sisa hari itu tidak diukur, pengalaman berharga itu mungkin terabaikan. Di dunia yang digerakkan oleh AI, apa yang tidak diukur mungkin tidak lagi berarti.

Masa depan pendidikan bukan hanya soal AI yang lebih cerdas; ini tentang memastikan bahwa siswa memiliki waktu, sumber daya, dan pengakuan untuk mendapatkan pengalaman bermakna yang mengembangkan mereka menjadi manusia yang utuh dan terlibat.